Siang itu, udara kemarau begitu menyengat. Hembusan angin kerontang membakar setiap benda yang diterpa. Jengah rasana untuk berpapasan dengan awal musim kemarau tahun ini. Begitu begitu penat, tak menyisakan sesenti pun ruang di Wilayah Kota Sumedang yang luput dari terjangan kering di musim kemarau yang tak berkesudahan. Tak terkecuali di SMAN 2 Sumedang. Matahari tidak berkedip memancarkan panas sepajang hari.
Disela-sela kejengahan menghadapi awal kemarau, untuk mengusir kejenuhan, saya mencoba mengingat kembali sepenggal kisah masa lalu sekitar pertengahan tahun 2014. Persis seperti hari ini, awal kemarau tahun itu mulai menyengat pasti menyebar kegerahan. Dan, dari titik momentum itulah, kisah perjalanan di Australia diawali…
“Saya tidak menyangka akan lolos seleksi Program Continuous Proessional Training Develovment or Teacher ke Australia. Awalnya minder karena dasar saya bukan guru bahasa Inggris. Seleksi untuk program tersebut semuanya berbahasa Inggris. Mulai seleksi administrasi, mengisi formulir, misalnya. Menulis esei pun dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Belum lagi tes wawancara langsung dengan native speaker, Kate Hill, asli orang Australia. Terakhir tantangan yang terberat adalah tes Toepl” begitu dia mengawali kisahnya. Lebih lanjut, guru yang genap dua tahun menetap di SMAN 2 Sumedang ini bercerita tentang tentang persiapan menempuh tes program ke Australia ini. Hampir setiap malam, dia belajar bahasa Inggris, terutama tes Toepl. Berkat bantuan teman guru bahasa Inggris yang sama-sama akan tes program ini, Pak Cece, guru SMAN Situraja, akhirnya semua kendala bahasa dapat diatasinya. Untuk mengedit naskah esei, dia dibantu Pak Wawan Suwandi, guru bahasa Inggris SMAN 2 Sumedang. Akhirnya, mendaratlah saya di Adelaide, South Australia.
Menulis esei bukan hal baru bagi guru lulusan terbaik dan tercepat dari Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang ini (Program S2, dia tempuh dalan 3 semester saja, predikat cume laude, IPK 3,82 dengan nilai A semua). Pada tahun 2000 penah mejuarai penulisan esei tingkat Nasional dalam Lomba Mengulas Karya Sastra, Depdikbud. Pernah mendapat bimbingan langsung dari Penyair Taufik Ismail dalam acara Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra di Jakarta dan Solo. Tahun 2002 menjuarai lomba yang sama. Esei karyanya pernah dibukukan dalam Antologi Sepulu Karya Terbaik terbitan Depdikbud, Jakarta. Karya-karya ulasan yang lain banyak tersebar di Koran Sinar Indonesia Baru, Metro Tapanuli Medan, Majalah Pendidikan Kota Sibolga dan Majalah Pendidikan Sumedang. Terakhir, penah menjadi editor buku Tapanuli dalam Lintasan Sejarah.
Ada hal yang menarik dari sepenggal kisah lawatan ke Australia, dalam hal bidang pndidikan. “Perbedaan yang paling mencolok adalah gaji guru di Australia kurang lebih 70 juta sebulan di Indonesia 7 jutaan”. Profesi guru di Australia sama dengan lawyer, injenering, dokter, perbankan, sehingga berhak mendapat imbalan yang tinggi. Kemudian ia memambahkan sistem pendidikan di Australia tidak mengenal sekolah kejuruan. Semua materi pelajaran di Indonesia yang diperuntukan siswa SMK diajarkan di semua SMA di Australia. Semua keterampilan untuk kecakapan hidup diajarkan tidak hanya sebatas teori tetapi sampai pada praktiknya. Di sekolah khusus perempuan, Micham Girl High School, misalnya, para siswi tidak hanya diajarkan materi keputrian melulu, melainkan kecakapan hidup jender laki-laki pun mereka pelajari. Bertani, berternak, mengolah anggur menjadi wine, membubut, mengelas, mebuat lemari, kursi atau barang perkakas kayu lainya, mereka pelajari di sekolah. Hal ini disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya alam Austalia yang melimpah. Pokoknya, semua kecakapan hidup yang akan mereka butuhkan setelah tamat sekolah semua dipelajari di sekolah level SMA.
Metode pembelajaran di Australia hampir sama dengan metode pembelajaran yang kita kenala metode pembelajaran dalam Kurikulum 2013. “ Bedanya, jika di Indonesia Kurikulum ini baru diberlakukan beberapa tahun lalu, di Australia sudah diiberlakukan puluhan tahu yang lalu dan sudah menikmati hasilnya. Sesuai dengan pepatah kuno di Indonesia mah, biar lambat asal selamat”. Penyederhanaan mata pelajaran betul betul diterapkan di Australia. Untuk tinggkat SMA mata pelajaran yang dipelajari tidak lebih dari 7 mata pelajaran. Setiap hari para siswa tidak lebih dari 2 mata pelajaran yang mereka pelajari. Namun, semua hal ihwal mengenai materi tersebut dari A samapi Z dituntaskan dalam satu pertemuan. Misalnya, siswi Micham Girl High School, sedang belajar mata pelajaran Home Economic, bab makanan Mediterania, mulai sejarah makanan, menyiapkan bahan makan, membuat makanan, menyajikan makanan, hingga memasarkan hasil produk makanan tersebut tuntas dalam satu pertemuan.
Sistem Pendidikan di Australia tidak melihat perbedaan jender. “ Yang saya salut adalah di sekolah khusus perempuan, Micham Gilr High School, tersedia ring tinju lengkap dengan peralatan tinju lainya. Menurut Wakil Kepala Sekolah urusan Kurikulum, Jay Shims, sasana tinju tersebut untuk membela diri. Selain itu, tempat itu juga sebagai sarana pelampiasan kekesalan para siswi apabila dihianati pacarnya. Para siswi bisa memukul samsat sekeras-kerasnya untuk melampiaskan kekecewaannya. Andaikan sistem pendidikan di Indonesia sudah berfikir sampai ke sana, mungkin tidak akan ada lagi tawuran antar pelajar karena rasa kecewa dan sifat anarkisnya sudah terlampiaskan di ring tinju.